Minggu, 14 Desember 2014

Mohamad Indah Ginting: Mafia sampai Bunuh-bunuhan




 Sumber: Detik.com

Senin, 15/12/2014 08:19 WIB
Mohamad Indah Ginting: Mafia sampai Bunuh-bunuhan
Bahtiar Rifai – detikNews


Jakarta - Tindakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menenggelamkan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan ataupun melanggar aturan hukum di Indonesia menimbulkan kontroversi. Banyak pihak mengusulkan agar kapal itu tidak ditenggelamkan, tapi dilelang untuk diberikan kepada nelayan.

Ketua Forum Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan Seluruh Indonesia Mohamad Indah Ginting memberi kesaksian, pelelangan kapal asing untuk nelayan sering sia-sia karena banyak mafia yang bermain. Penerapan denda juga tidak efektif karena sulit menagihnya.

“Di Medan dulu sampai ada mafia yang bunuh-bunuhan gara-gara lelang kapal,” kata Ginting dalam fokus majalah detik edisi 159. Selain menjabat Ketua Forum Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan Seluruh Indonesia, Ginting menjadi koordinator hakim di Pengadilan Perikanan Jakarta Utara. Sebelumnya, ia bertugas di Pengadilan Perikanan Medan.

Berikut ini wawancara Bahtiar Rifai dari majalah detik dengan Mohamad Indah Ginting di kantor Pengadilan Perikanan Jakarta Utara.

Pelelangan kapal asing selama ini seperti apa? Yang dilelang itu umumnya kapal asing yang tertangkap, seperti dari Vietnam. Kalau milik nelayan lokal, (kapal) dikembalikan. Kalau ada trawl, diambil trawl-nya, apalagi kalau ada bom. Jadi kapalnya dikembalikan asalkan jangan mengulangi lagi pakai trawl.

Sewaktu saya di Medan dulu, kapalnya dirampas, orangnya didenda. Kalau dia masuk ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), orangnya tidak boleh ditahan. Kalau dia menangkap dari 12 mil sampai 200 mil, itu sumber daya ikannya yang berdaulat. Tapi kedaulatan negara bukan di situ. Kita berdaulat di sumber dayanya itu. Kalau (nelayan) sampai masuk 12 mil ke bawah, langsung ditahan, kena hukuman bui.

Kalau di ZEE tak boleh dibui, ditahan pun tak boleh. Kapalnya boleh diambil, dirampas, diadili tapi dia dipulangkan. Kita terikat konvensi, dan KUHP kita tidak berlaku di sana, bukan teritori kita. Tapi karena dia mengambil ikan kita.


Anda tahu soal mafia di pelelangan kapal? Jadi memang ada tangannya di situ. Kapal Thailand umumnya dioperasikan Malaysia atau diageni Malaysia. Nah, Malaysia yang ngurus ke Indonesia semua. Mulai dari beking, semuanya.


Mereka kalau dibekingi angkatan tertentu, kita tangkap, mereka menunjukkan sesuatu. “Pak, katanya, asal kami menunjukkan ini, kami enggak ditangkap.” Tulisan itu berbunyi “dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada petugas di lapangan, kalau kapal ini ditangkap, tolong hubungi nomor kami di nomor sekian”. Nomor teleponnya itu nomor angkatan tertentu, ternyata.

Rabu, 10 Desember 2014

RABU, 13 PEBRUARI 2002
UU di Bidang Maritim Segera Disempurnakan
Sebagai negara maritim, potensi kelautan Indonesia Indonesia sangat besar. Apalagi luas wilayah kelautan Indonesia mencapai duapertiga dari luas seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya, peraturan tentang kelautan yang ada sekarang dirasakan masih kurang jelas.
ZAE/APR
Dibaca: 2924 Tanggapan2


Sumber (diunduh dari website hukumonline)
Banyak peraturan warisan peraturan jaman dahulu yang belum disesuaikan dengan keadaan sekarang. Salah satunya, peraturan tentang laut teritorial dan maritim. Padahal peraturan yang jelas dan tegas sangatlah penting, disesuaikan dengan perkembangan jaman demi pemanfaatan laut yang maksimal.
Menanggapi pentingnya perundang-undangan tersebut, The Habibie Centre (THC), institusi yang berdedikasi untuk mempromosikan dan mengembangkan konsep demokrasi di Indonesia, menggagas disusunnya RUU Maritim.
Melalui Maritim Continent Institute, salah satu divisinya yang mempunyai kepedulian terhadap bidang Kelautan dan fenomenanya, THC menyusun sebuah tim kecil RUU Maritim. Tim kecil ini terdiri dari beberapa pengamat dan pakar hukum maritim, seperti Husseyn Umar,Hidayat Mao, Olga Suyono, Rudi Rizki, Hasyim Djalal.
Tim kecil ini diberi tugas untuk merumuskan saran menyusun suatu perundang-undangan di bidang maritim yang lengkap, di mana terdapat UU induk yang memayungi perundang-undangan lainnya.
Namun, niat untuk menyusun UU yang memayungi UU lain semacam UU Pokok tidak dapat diwujudkan. Alasannya, telah ada kesepakatan di lembaga legislatif untuk tidak menggunakan itu lagi.  Saran yang berupa rangkuman diskusi ini telah disampaikan pada pemerintah (Menteri Perhubungan) yang kini sedang giat menyempurnakan RUU di bidang Kemaritiman.
Peraturan bidang kemaritiman
Selama ini, Indonesia pernah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan laut. Peraturan tersebut antara lain Kitab Undang-undang Hukum Dagang/KUHD (Wet Bock Van Koophandel), UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, dan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu terdapat juga UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut), UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, serta Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939.
Upaya penyusunan peraturan baru di bidang kemaritiman sebenarnya sudah pernah pula dilakukan oleh pemerintah. Melalui program yang dibiayai oleh Bank Dunia, pemerintah bekerja sama dengan Universitas Indonesia pernah menyusun semacam panduan terhadap pembentukan UU tentang Kemaritiman pada 1983.
Program yang disebut dengan Maritime Legislation Project (MLP) ini dilaksanakan oleh ahli-ahli dari Universitas Indonesia, dibantu oleh 8 ahli hukum maritim dari luar negeri. Laporan akhirnya berupa empat jilid buku yang merupakan kumpulan konsep RUU dan Keppres di bidang maritim. 
Buku I tentang Pengaturan Ekonomi terdiri dari 4 RUU. Buku II tentang Pengawakan Keselamatan terdiri atas 4 RUU. Buku III tentang Navigasi dan Polusi terdiri dari 5 RUU. Buku IV tentang Hukum Privat Maritim berupa saran perubahan dua kitab KUHD.
Laut bukan untuk dipecah belah
Urgensi disusunnya RUU Maritim ini semakin dirasakan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Pada Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa otonomi daerah wilayah daerah propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Dampaknya, kewenangan daerah pun berlaku pada wilayah laut seperti disebutkan dalam pasal tersebut. Sayangnya, kewenangan ditanggapi berbeda oleh beberapa daerah. Sebagian daerah akhirnya mengklaim wilayah laut tertentu menjadi daerah kewenangannya. Akibatnya, laut Indonesia seakan terpecah-pecah menjadi wilayah yang terpisah.
Sebagai salah satu negara dengan wilayah laut terluas di dunia, Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengolah sumber daya alam di dalamnya. Dengan aturan yang jelas dan tegas, pemanfaatan tersebut dapat semakin optimal demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Hukum Maritim Indonesia


Klaim Indonesia terhadap laut yang dimulai dari deklarasi Juanda, berhasil mencetuskan dan mengakui beberapa Undang-undang Kemaritiman yaitu:
UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, sebagai penegas legalitas Deklarasi Djuanda
UNCLOS 1982 tentang hukum Maritim Internasional, mulai diterapkan di Indonesia melalui UU No.17 th.1985
* UU No.5 Th.1983, mengesahkan kedudukan Indonesia dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
UU No.21 Th.1992 tentang pelayaran.
UU No.6 Th.1996 tentang perairan Indonesia.
UU No.38 Th.2002, tentang Titik Dasar Indonesia, dan
UU No.31 Th.2004, tentang Perikanan Indonesia.
Saat ini, UU No.21 Th.1992 sedang dalam revisi dan digodok. Dimana Undang-undang yang baru diharapkan lebih membuka peluang pengembangan maritim. Selain itu, UU No.38 Th.2002 juga memerlukan revisi menyangkut hilangnya 2 Titik Dasar Kepulauan Indonesia di P.Sipadan dan P.Ligitan akibat ketidak seriusan pemerintah dalam penjagaannya.
Dikutip dari : Hukum Maritim Indonesia
Pembentukan wilayah maritim di Indonesia dimulai pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia waktu itU (Djuanda Kartawidjaja)dengan nama “Deklarasi Juanda”. Deklarasi ini yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Dengan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
Sumber: Wikimedia indonesia.

Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Kemaritiman

Lima Pilar Utama Sebagai Landasan Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia
Pilar 1: Indonesia menyadari sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya,dan masa depannya sangat ditentukan oleh bagaimana Indonesia mengelola samudranya.
Pilar 2: Indonesia menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kadulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim Indonesia digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Pilar 3: Memberi prioritas  pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
Pilar 4: Melalui diplomasi maritim, Indonesia mengajak semua mitranya untuk bekerjasama di bidang kelautan. Kerjasama mencakup secara bersama-sama menghilangkan konflik di laut (pencurian ikan; pelanggaran kedaulatan; sengketa wilayah; perompkan; dan pencemaran laut.
Pilar 5: Indonesia yang menajdi titik tumpu dua samudra memiliki kewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Kekuatan tersebut diperlukan guna menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim, serta wujud tanggung jawab Indonesia dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim. (Disadur dari Pernyataan Presiden Indonesia, Joko Widodo dalam East Asia Summit IX, 13 November 2014 di Naypyidaw, Myanmar)